PERJAMUAN MALAM TERAKHIR SEBAGAI PERJAMUAN MARANATHA
I. Pengantar
Bila kita berbicara soal iman akan maranatha kita sebenarnya bisa membaginya dalam dua sisi. Kedua sisi tersebut nampak dalam Maran Atha, yang diartikan sebagai Tuhan datang atau Marana Tha datanglah Tuhan. Kedua frase tersebut jelas memiliki makna yang berbeda Maran Atha, Tuhan datang lebih mengarah kepada sebuah berita bahwa Tuhan telah datang. Sedangkan frase Marana Tha, datanglah Tuhan memberikan pemahaman kepada kita tentang pengharapan agar Tuhan datang. Lepas dari itu semua berbicara soal maranatha kita tidak bisa lepas dari konsep kedatangan Tuhan. Mungkin yang perlu diperjelas ialah kedatangan Tuhan yang mana yang dimaksud? Atau natalis atau eskatologis? Paper sederhana ini akan mencoba memperdalam konsep iman akan kedatangan Tuhan dalam pemahaman Eskatologis melalui Liturgi Ekaristi sebagai media untuk mengungkapkannya.
II. Perjamuan Malam Terakhir Sebagai Perjamuan Maranatha
Mari kita bayangkan, apa yang dilakukan seorang Ayah saat harus pergi jauh dari anak-anaknya selama beberapa saat? Mungkin yang ada ialah gambaran Ayah yang mengulangi nasihat-nasihat yang terbaik bagi anak-anaknya, gambaran akan ayah yang memberikan tugas-tugas, kenang-kenangan kepada anak-anaknya, atau bahkan janji-janji akan kedatangannya kembali. Hal yang sama dilakukan oleh Yesus ketika berkumpul dengan murid-murid-Nya untuk merayaan perjamuan malam terakhir.
Pada perjamuan malam terakhir itu terjadilah sesuatu yang sangat mengherankan. Yesus ingin memebrikan kenang-kenangan kepada murid-murid-Nya.Apa yang diberikan? Bukan hadiah, bukan foto, melainkan Diri-Nya sendiri. Yesus mengambil roti, memberkatinya, memecah-mecahkannya, dan membagi-bagikan pecaha-pecahan roti itu kepada murid-murid-Nya, sambil berkata “Terimalah dan makanlah! Inilah Tubuh-Ku, yang dikorbankan bagimu.” Dan mereka memakannya. Begitu pula pada akhir perjamuan Yesus mengambil piala yang berisi anggur, mengucap doa syukur, lalu mengedarkannya kepada para murid sambil berkata “Terimalah dan minumlah! Inilah piala Darah-Ku, darah Perjanjian Baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Kenangkanlah aku dengan merayakan pristiwa ini.” Piala diedarkan dan para muridpun meminumnya.
Pertanyaan baru yang mungkin muncul ialah, apakah pada saat itu para rasul menyadari apa yang sedang terjadi? Mungkin pada waktu itu mereka ingat akan penggadaan roti di padang Gurun, atau mungkin mereka justru mengingat akan janji Yesus “barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia”. Kali ini Jelas, Janji Yesus tersebut telah terpenuhi. Ia akan selalu tinggal bersama mereka meskipun dahulu Dia pernah meninggalkan mereka.
Arti pristiwa ini diterangkan bagi kita oleh Konsili Vatikan II dnenga kata-kata berikut:
“Dalam perjamuan terakhir, di malam Ia diserahkan, Juru Selamat kita telah mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan diadakannya korban ini korban salib dihidupkan terus menerus sepanjang abad sampai Ia datang kembali. Dengan adanya korban Ekaristi ini dipercayakan-Nya kepada Gereja, mempelai-Nya yang terkasih, suatu tanda persatuan, suatu ikatan kasih, suatu perjamua Paska, yang mengenangkan Kristus, mendatangkan rahmat serta memberi suatu jaminan kemuliaan abadi”
III. Kesimpulan
Dengan demikian jelas bahwa perjamuan Ekaristi benar-benar merupakan suatu peninggalan yang diberikan Yesus kepada para murid sebagai kenangan akan Dia. Kenangan itulah yang terus menerus kita lakukan sampai Ia datang kembali. Jika seseorang mengenangkan sesuatu, secara tidak langsung apa yang ia kenangkan itu datang dihadapannya. Karena bagaimanapun juga, saat kita merayakan pristiwa Iman, pristiwa perjamuan Ekaristi, Tuhan sendiri datang dan hadir di tengah-tengah kita. Inipulalah yang kiranya menjadi dasar bahwa mengenangkan Yesus melalui Ekaristi tak ubahanya dengan berharap datanglah Tuhan, Marana Tha! Hingga akhirnya Tuhan datang, Maran Atha!