Teks yang kali ini aku renungkan merupakan teks yang amat sangat familiar. Namun, aku yakin banyak makna yang ada di dalamnya. Saat merenungkan teks ini, aku membawanya pada situasi hidup di seminari. Aku membayangkan ada dua kelompok frater di seminari ini. Pertama, kelompok frater bungsu ialah mereka yang taat pada peraturan seminari. Kelompok kedua ialah kelompok frater sulung yang tidak taat pada peraturan seminari.
Pada saat merenungkan teks ini, aku perlahan-lahan dibawa untuk merasakan apa yang dirasakan oleh kelompok si bungsu. Aku merasakan bagaimana rasa tidak suka dan sakit hati saat kelompok si bungsu yang tidak taat di seminari namun masih bisa hidup di seminari. Sebenarnya mereka bukan saja tidak taat, mereka bahkan memang sudah tidak ingin jadi imam, namun sekali lagi, mereka tetap bisa tinggal di seminari. Segala tindakan mereka di seminari aku pandang sebagai usaha untuk bertahan hidup, maksudnya agar bisa makan tiga kali, dan mendapat tempat istirahat yang nyaman. Pertanyaan besar muncul di batinku “mengapa mereka masih saja dibiarkan hidup di seminari?”
Namun, saat aku renung-renungkan lagi aku di bawa pada sebuah kesadaran bahwa aku juga sebenarnya berada di kelompok frater bungsu. Banyak tindakkanku yang sebenarnya merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan seminari. Namun, kenapa aku masih diijinkan tinggal di sini? Tapi memang kelompok frater bungsu ini benar-benar menjadi batu sandungan bagi kelompok frater sulung. Aku membayangkan (dan memang aku mengalami dalam relitas) bahwa muncul pikiran dari kelompok sulung “Ngapain juga aku harus taat pada aturan seminari, tokh mereka yang tidak taat pada peraturan seminari mendapat hak yang sama dengan aku, yang (lebih) taat! Mereka bisa makan tiga kali sehari serta mendapat tempat tinggal yang nyaman. Tidak ada bedanya bukan? Bahkan mereka lebih hidup enak dengan HP, teman-teman cewe yang banyak, tidak ada beban kendati sering tidak ikut misa dan kegiatan komunitas dan segala bentuk kenikmatan yang lain (kendati tidak sesuai dengan cara hidup komunitas seminari). Lebih baik aku hidup seperti kelompok bungsu. Ya, mereka masih boleh diijinkan hidup di seminari ini.”
Pada permenungan lain aku menemukan jawaban mengapa mereka diijinkan tinggal di seminari ialah bahwa Bapa (dalam hal ini Staff atau Allah Bapa) ingin melihat adanya perubahan dari kelompok frater bungsu. Bapa ingin bahwa si bungsu berubah saat masih frater dan akhirnya bisa kembali menjadi frater yang taat, menjadi frater kelompok sulung. Sebab apa artinya jika perubahan mereka menjadi baik terjadi saat mereka tidak lagi ada di seminari. Perubahan itu lepas dari waktu. Sebab Bapa selalu setia dan menanti si Bungsu kembali ke jalan yang benar. Bagi aku sendiri, akupun sadar bahwa aku harus kembali pada Bapa, karena ia telah menanti kedatanganku.
0 tanggepan dari pembaca:
Posting Komentar