BELAJAR FILSAFAT-BELAJAR ‘MENGAPA-ISME’
Pendahuluan
Kiranya sangatlah penting dan berguna tugas yang diberikan oleh panitia POSMA tahun ini. Tugas yang diberikan tidak asal-asalan. Melainkan, sangat tepat guna, dan pastinya juga diharapkan berhasil guna pula. Dengan memberikan pertanyaan ‘Apa guna belajar Filsafat?’ sedikit banyak akan memberikan gambaran tentang sesuatu yang akan dipelajari oleh para mahasiswa baru tahun 2008 ini selama empat tahun ke depan. Tugas ini menjadi tepat guna bila melalui tugas ini para mahasiswa baru mendapat gambaran tentang sesuatu yang dinamakan filsafat, yang akan mereka pelajari selama empat tahun ini. Dan menjadi berhasil guna bila tugas ini benar-benar dapat membantu mengantarkan para mahasiswa baru ini sampai pada akhir pendidikan S1
Berikut ini akan coba dijabarkan tentang belajar filsafat menurut pandangan seorang mahasiswa yang baru duduk di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang.
Kiranya sangatlah penting dan berguna tugas yang diberikan oleh panitia POSMA tahun ini. Tugas yang diberikan tidak asal-asalan. Melainkan, sangat tepat guna, dan pastinya juga diharapkan berhasil guna pula. Dengan memberikan pertanyaan ‘Apa guna belajar Filsafat?’ sedikit banyak akan memberikan gambaran tentang sesuatu yang akan dipelajari oleh para mahasiswa baru tahun 2008 ini selama empat tahun ke depan. Tugas ini menjadi tepat guna bila melalui tugas ini para mahasiswa baru mendapat gambaran tentang sesuatu yang dinamakan filsafat, yang akan mereka pelajari selama empat tahun ini. Dan menjadi berhasil guna bila tugas ini benar-benar dapat membantu mengantarkan para mahasiswa baru ini sampai pada akhir pendidikan S1
Berikut ini akan coba dijabarkan tentang belajar filsafat menurut pandangan seorang mahasiswa yang baru duduk di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang.
Belajar
Nampaknya belajar tidak akan bisa dilepaskan dari hidup manusia. Dalam hal ini tentunya bukan hanya belajar yang bersifat akademis. Mengapa demikian? Karna jika belajar disempitkan hanya pada segala sesuatu yang bersifat akademis, maka belajar dapat lepas dari hidup manusia. Hal itu disebabkan tidak semua manusia mendapatkan kesempatan belajar secara akademis. Bukti nyata bahwa banyak anak-anak usia sekolah tidak dapat merasakan dinamika kegiatan belajar mengajar. Belajar yang dimaksudkan di sini ialah belajar dalam arti luas, tidak hanya belajar akademis tetapi juga belajar yang sifatnya praktis.
Sejak kecil kita sudah mencoba untuk belajar, dimulai dengan belajar berjalan, belajar membaca, belajar bersepeda, dll. Begitu pula saat kita beranjak remaja, kita belajar mengendarai sepeda motor, belajar ilmu-ilmu tertentu, dll. Bahkan sampai masa tuapun kita tidak akan berhenti belajar akan hal-hal baru. Ya, siapa saja, di mana saja, kapan saja belajar bisa dilakukan.
Menurut Andrias Harefa, belajar berbeda dengan belajar tentang (Harefa, 1998). Belajar membuat film berbeda dengan belajar tentang membuat film. Saat kita belajar membuat film, kita akan bersentuhan langsung dengan praktek membuat film. Kita akan memegang kamera dan mencoba mengambil bebrapa adegan gambar. Sedangkan belajar tentang membuat film dapat kita lakukan tanpa harus susah payah turun ke lapangan. Cukup dengan mendengarkan penjelasan dari seorang sutradara ternama atau dengan melihat tayangan tentang cara membuat film kita telah melakukan apa yang dinamakan belajar tentang membuat film.
Jelas sekali nampak perbedaan bobot dari kedua kata kerja tersebut. Kata belajar nampak memiliki nilai lebih. Perbedaan tersebut terlihat pada tindakan yang dilakukan. Dari penjelasan di atas jelas bahwa belajar adalah sebuah tindakan prakteki. Namun, walau bagaimanapun juga kita tetap tidak bisa meninggalkan belajar tentag begitu saja. Belajar tetang tetap menjadi berguna bagi kita saat kita mempelajari segala sesuatu yang bertentangan dengan aturan umum.ii Misalnya, kita tidak perlu belajar dan mempraktekan Homoseksualitas. Kita hanya perlu belajar tentang Homoseksualitas. Karena dari sana diharapkan kita dapat menemukan cara-cara penanggulangan dan penanganan Homoseksualitas.
Nampaknya belajar tidak akan bisa dilepaskan dari hidup manusia. Dalam hal ini tentunya bukan hanya belajar yang bersifat akademis. Mengapa demikian? Karna jika belajar disempitkan hanya pada segala sesuatu yang bersifat akademis, maka belajar dapat lepas dari hidup manusia. Hal itu disebabkan tidak semua manusia mendapatkan kesempatan belajar secara akademis. Bukti nyata bahwa banyak anak-anak usia sekolah tidak dapat merasakan dinamika kegiatan belajar mengajar. Belajar yang dimaksudkan di sini ialah belajar dalam arti luas, tidak hanya belajar akademis tetapi juga belajar yang sifatnya praktis.
Sejak kecil kita sudah mencoba untuk belajar, dimulai dengan belajar berjalan, belajar membaca, belajar bersepeda, dll. Begitu pula saat kita beranjak remaja, kita belajar mengendarai sepeda motor, belajar ilmu-ilmu tertentu, dll. Bahkan sampai masa tuapun kita tidak akan berhenti belajar akan hal-hal baru. Ya, siapa saja, di mana saja, kapan saja belajar bisa dilakukan.
Menurut Andrias Harefa, belajar berbeda dengan belajar tentang (Harefa, 1998). Belajar membuat film berbeda dengan belajar tentang membuat film. Saat kita belajar membuat film, kita akan bersentuhan langsung dengan praktek membuat film. Kita akan memegang kamera dan mencoba mengambil bebrapa adegan gambar. Sedangkan belajar tentang membuat film dapat kita lakukan tanpa harus susah payah turun ke lapangan. Cukup dengan mendengarkan penjelasan dari seorang sutradara ternama atau dengan melihat tayangan tentang cara membuat film kita telah melakukan apa yang dinamakan belajar tentang membuat film.
Jelas sekali nampak perbedaan bobot dari kedua kata kerja tersebut. Kata belajar nampak memiliki nilai lebih. Perbedaan tersebut terlihat pada tindakan yang dilakukan. Dari penjelasan di atas jelas bahwa belajar adalah sebuah tindakan prakteki. Namun, walau bagaimanapun juga kita tetap tidak bisa meninggalkan belajar tentag begitu saja. Belajar tetang tetap menjadi berguna bagi kita saat kita mempelajari segala sesuatu yang bertentangan dengan aturan umum.ii Misalnya, kita tidak perlu belajar dan mempraktekan Homoseksualitas. Kita hanya perlu belajar tentang Homoseksualitas. Karena dari sana diharapkan kita dapat menemukan cara-cara penanggulangan dan penanganan Homoseksualitas.
Filsafat
Rm. Yustinus, C.M. dalam pengantar POSMA 2008 di STFT mengatakan bahwa mahasiswa Filsafat diharapkan mampu menjadi manusia yang kritis dengan selalu bertanya ‘mengapa? mengapa dan mengapa?’. Sedangkan dalam Pastores Dabo Vobis dikatakan bahwa “suatu tahap kritis dalam pembinaan intelektual ialah studi filsafat...”(PDV art. 52). Sebenarnya apa hubungan filsafat dengan kekritisan dan ke-mengapa-an? Oleh karena itulah mengapa judul di atas bertuliskan ‘belajar filsafat-belajar mengapa-isme’.
Salah satu prinsip yang dipegang oleh Rm. Mangun Wijaya, Pr saat mengelola SD Mangunan di Jogjakarta ialah ‘anak yang kerap kali bertanya tidak menandakan bahwa anak itu bodoh’. Justru sebaliknya, anak yang kerap kali bertanya merupakan anak yang cerdas, kritis dan kreatif. Hal itu dikarnakan si anak mampu merumuskan kesulitannya dan mencoba mengutarakan gagasan kesulitannya tersebut dalam sebuah pertanyaan.iii Sekiranya pandangan ini juga sejalan dengan dua pandangan sebelumnya. Orang yang mampu bertanya, salah satunya dengan menanyakan mengapa? mengapa? dan mengapa? ialah orang yang kritis. Memang rasanya orang yang selalu bertanya itu nampak bodoh. Namun, dengan menanyakan ‘Koq bisa ya? Atau ‘mengapa begini?’ dan ‘mengapa begitu?’ hal itu justru akan membantu untuk menemukan inti dari permasalahan. Bertanya, bertanya dan bertanya sama halnya dengan membuka, membuka dan membuka sampai akhirnya sampai pada intinya yang sudah tidak dapat dibuka lagi.
Ya, seperti itulah filsafat. Filsafat membantu kita untuk menjadi orang bodoh yang cerdas, yang selalu bertanya mengapa guna mencari yang menjadi inti dari sesuatu.
Rm. Yustinus, C.M. dalam pengantar POSMA 2008 di STFT mengatakan bahwa mahasiswa Filsafat diharapkan mampu menjadi manusia yang kritis dengan selalu bertanya ‘mengapa? mengapa dan mengapa?’. Sedangkan dalam Pastores Dabo Vobis dikatakan bahwa “suatu tahap kritis dalam pembinaan intelektual ialah studi filsafat...”(PDV art. 52). Sebenarnya apa hubungan filsafat dengan kekritisan dan ke-mengapa-an? Oleh karena itulah mengapa judul di atas bertuliskan ‘belajar filsafat-belajar mengapa-isme’.
Salah satu prinsip yang dipegang oleh Rm. Mangun Wijaya, Pr saat mengelola SD Mangunan di Jogjakarta ialah ‘anak yang kerap kali bertanya tidak menandakan bahwa anak itu bodoh’. Justru sebaliknya, anak yang kerap kali bertanya merupakan anak yang cerdas, kritis dan kreatif. Hal itu dikarnakan si anak mampu merumuskan kesulitannya dan mencoba mengutarakan gagasan kesulitannya tersebut dalam sebuah pertanyaan.iii Sekiranya pandangan ini juga sejalan dengan dua pandangan sebelumnya. Orang yang mampu bertanya, salah satunya dengan menanyakan mengapa? mengapa? dan mengapa? ialah orang yang kritis. Memang rasanya orang yang selalu bertanya itu nampak bodoh. Namun, dengan menanyakan ‘Koq bisa ya? Atau ‘mengapa begini?’ dan ‘mengapa begitu?’ hal itu justru akan membantu untuk menemukan inti dari permasalahan. Bertanya, bertanya dan bertanya sama halnya dengan membuka, membuka dan membuka sampai akhirnya sampai pada intinya yang sudah tidak dapat dibuka lagi.
Ya, seperti itulah filsafat. Filsafat membantu kita untuk menjadi orang bodoh yang cerdas, yang selalu bertanya mengapa guna mencari yang menjadi inti dari sesuatu.
Manfaat Belajar Filsafat
Belajar filsafat berbeda dengan belajar tentang filsafat. Mungkin di STFT para mahasiswanya akan belajar tentang filsafat, belajar siapa filusuf-filusuf dan bagaimana pemikiran-pemikirannya. Namun, tentunya diharapkan para mahasiswa juga mampu belajar filsafat. Karna dengan begitu filsafat akan lebih bermakna. Filsafat yang mengajari kita untuk menjadi orang bodoh yang cerdas, yang selalu bertanya mengapa guna mencari yang menjadi inti dari sesuatu, akan nampak lebih nyata. Selain itu belajar filsafat akan mengantar subjek didik (baca: mahasiswa) kembali kepada inti suatu hal. Kembali, hal itu dikerenakan bahwa Filsafat mengajak untuk terus membuka kulit-kulit luar segala sesuatunya, melalui pertanyaan-pertanyaan kritis hingga akhirnya menemukan inti atau dasar yang bisa dijadikan pegangan. Karena bila kita telah mampu menemukan inti yang dapat menjadi pegangan kita dalam menyampaikan sebuah gagasan.
Bagaimana dengan seorang calon imam? Menurut Pastores Dabo Vobis, Filsafat akan banyak membantu para calon imam dalam hal pembinaan intelektualnya dalam berbakti pada kebenaran dan untuk makin menyelami manusia dan gejala-gejala serta arus perkembangan masyarakat.iv Dari manfaat-manafaat itulah semakin nampak bahwa filsafat mendukung para calon imam untuk mencapai panggilan yang sedang ia geluti. Intinya, filsafat tidak hanya berguna bagi perkembangan intelektualitas namun juga berguna bagi perkembangan panggilan para calon Imam.
Filsafat... I’m Here...
Belajar filsafat berbeda dengan belajar tentang filsafat. Mungkin di STFT para mahasiswanya akan belajar tentang filsafat, belajar siapa filusuf-filusuf dan bagaimana pemikiran-pemikirannya. Namun, tentunya diharapkan para mahasiswa juga mampu belajar filsafat. Karna dengan begitu filsafat akan lebih bermakna. Filsafat yang mengajari kita untuk menjadi orang bodoh yang cerdas, yang selalu bertanya mengapa guna mencari yang menjadi inti dari sesuatu, akan nampak lebih nyata. Selain itu belajar filsafat akan mengantar subjek didik (baca: mahasiswa) kembali kepada inti suatu hal. Kembali, hal itu dikerenakan bahwa Filsafat mengajak untuk terus membuka kulit-kulit luar segala sesuatunya, melalui pertanyaan-pertanyaan kritis hingga akhirnya menemukan inti atau dasar yang bisa dijadikan pegangan. Karena bila kita telah mampu menemukan inti yang dapat menjadi pegangan kita dalam menyampaikan sebuah gagasan.
Bagaimana dengan seorang calon imam? Menurut Pastores Dabo Vobis, Filsafat akan banyak membantu para calon imam dalam hal pembinaan intelektualnya dalam berbakti pada kebenaran dan untuk makin menyelami manusia dan gejala-gejala serta arus perkembangan masyarakat.iv Dari manfaat-manafaat itulah semakin nampak bahwa filsafat mendukung para calon imam untuk mencapai panggilan yang sedang ia geluti. Intinya, filsafat tidak hanya berguna bagi perkembangan intelektualitas namun juga berguna bagi perkembangan panggilan para calon Imam.
Filsafat... I’m Here...
__________
i Bdk. Andrias Harefa, Berguru Pada Matahari, (Jakarta :Pt Gramedia Pustaka Utama.2000) hal. 13
ii Ibid. hal 14
iii Hal ini disampaikan oleh Rm. Sari, Pr. Saat memberikan seminar tentang dinamika edukasi dasar di Seminari Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang
iv Bdk. Pastores Dabo Vobis, (Jakarta: Departemen Dokumentrasi dan Penerangan KWI) art. 52
Daftar Pustaka:
_____________. 1992, Pastores Dabo Vobis, Jakarta: Departemen Dokumentrasi dan Penerangan KWI
Harefa, Andrias. 2000. Berguru Pada Matahari, Jakarta :Pt Gramedia Pustaka Utama
i Bdk. Andrias Harefa, Berguru Pada Matahari, (Jakarta :Pt Gramedia Pustaka Utama.2000) hal. 13
ii Ibid. hal 14
iii Hal ini disampaikan oleh Rm. Sari, Pr. Saat memberikan seminar tentang dinamika edukasi dasar di Seminari Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang
iv Bdk. Pastores Dabo Vobis, (Jakarta: Departemen Dokumentrasi dan Penerangan KWI) art. 52
Daftar Pustaka:
_____________. 1992, Pastores Dabo Vobis, Jakarta: Departemen Dokumentrasi dan Penerangan KWI
Harefa, Andrias. 2000. Berguru Pada Matahari, Jakarta :Pt Gramedia Pustaka Utama
0 tanggepan dari pembaca:
Posting Komentar